Rabu, 06 Juni 2012

Ilmu Tanpa Agama Bagai Orang Lumpuh

Tahun 1905, Einstein dalam umur 26 tahun telah mengguncang dunia  dengan menghadirkan 6 karya ilmiah dalam satu tahun, yang mengubah pengertian kita dalam memandang alam dan sekitarnya. Secara lebih spesifik dia memberikan pengertian baru tentang cahaya, atom, waktu, ruangan (space), gerakan dan benda (matter). Bersamaan dengan ini diapun memberikan dampak diluar fisika pada filsafat, politik, agama bahkan seni dan musik. Bagi kita baik secara individual maupun institusional yang mengagumi dan mencintai ilmu pengetahuan sudah selayaknya ikut merayakan  lahirnya “tahun keajaiban”  ini  “anno mirabilis” seabad yang lalu. Einstein mengatakan:

- Science without religion is lame
Religion without science is blind.  (Einstein)
- God does not play dice.   (Einstein)

Dua macam ungkapan diatas  menimbulkan kesan Einstein itu amat religius seperti layaknya kita mengerti bagaimana orang lain disekitar kita beragama.  Dalam pengertian kita, orang beragama adalah orang tersebut percaya terhadap dogma yang diajarkan agama, percaya kepada Tuhan yang penuh kasih sayang  dan kekuasaannya mengatur manusia dan segala yang ada , adanya rumah rumah ibadah bagi para pemeluknya. Apakah agama Einstein seperti itu ? Ternyata bukan.

Ungkapan Science without religion is lame (ilmu tanpa agama, lumpuh).  Religion without science is blind (agama tanpa ilmu, buta) ini yang sering disitir seorang gurubesar teman saya,  pernah saya tanyakan pada beliau dari mana dia dapatkan  kutipan itu. Sayangnya waktu itu  dia tidak dapat menyebutkan sumbernya karena lupa, entah dari mana.
Semula, kesan saya  ungkapan ini tidak masuk akal, bila datang dari Einstein.

Saya katakan waktu itu bahwa sejauh literatur yang saya punya, Einstein adalah seorang atheist. Dulunya dia memang penganut agama Yahudi yang fanatic , malah sering membuat syair pujaan pada Tuhan dan dinyanyikannya di jalan jalan dikampungnya.  Masih menurut cerita itu, baru pada umur 11-12 tahun dia memutuskan keluar dari agama setelah membaca  buku ilmiah popular yang dibawa sepupunya. Dia berpendapat kalau cerita dalam agama banyak kepalsuan  dan  menjerumuskannya (deceitful). Sejak itu dia menjadi Atheist dan semua produk opini yang dikeluarkan adalah secular.

Apa yang dimaksud religion oleh Einstein? Dan itu bukan religion seperti yang kebanyakan kita kenal. Religion bagi scientist menurut Einstein adalah  keyakinannya untuk bergelut dalam hidupnya mencari pengertian dan  kebenaran  dari fenomena yang ada dialam ini.  Kekaguman yang luar biasa terhadap harmoni alam dan hukum alam, liberated himself from his selfish desire and cling to their superpersonal value.  Ini semua adalah religious feeling dari seorang scientist. Dia juga menyebutnya sebagai cosmic religion.  Dalam religion ini no dogmas, no Personal God, no Church.

Beliau mengatakan bahwa Ilmu akan menerangkan fakta dan menerangkan hubungan antar fakta. Tetapi yang mengarahkan ‘timbulnya keinginan mengungkap fakta’  adalah diluar bidang science , dan ini yang ia sebut religion. Maka terjemahkan religious feeling, faith  dari Einstein ini dalam arti yang lebih umum adalah "filsafat" yang mengarahkan kemana ilmu itu mau dijalankan dan dipakai.

Dengan demikian maka kita mengerti bahwa Einstein memang bukanlah seorang yang agamis seperti pengertian yang kita pakai sehari hari , sehingga dalam arti biasa dia adalah atheist (dia sebutkan bahwa dia menyadarinya ) tetapi dia akan mengangap dirinya religious dalam arti yang berbeda.

Kini kita bicarakan ungkapan kedua   “God does not play dice.” (Tuhan tidak bermain dadu). Dia maksudkan bahwa semua fenomena alam ini tidak ada yang terjadi secara random, secara acak, terjadi begitu saja tanpa sistem , tanpa aturan. Justru yang sebenarnya terjadi adalah, selalu terdapat sistem , ada semacam protocol dan ada algoritme yang  mendasari terjadinya semua fenomena alam.  Inilah dasar dimana ilmu itu mengembangkan teori nya.

Jadi pernyataan tersebut yang menyebut God, sama sekali bukanlah pernyataan yang agamis dimana menurut agama justru semua phenomena dialam ini bisa terjadi begitu saja asal Tuhan mau, atau dengan kata lain  bisa terjadi secara random. Pernyataan Einstein  bertolak belakang dengan pernyataan agama.

Apa dampak pernyataan Einstein kalau di interpretasikan sesuai dengan pengertian Einstein ataupun bila diinterpretasikan secara salah.?
Kalau diterjemahkan sesuai dengan pengertian Einstein, itu tidak memberikan dampak yang merugikan, karena memang ilmu  harus berdasar fakta dan secular; artinya, tidak bisa dicampur dengan kaidah agama, yang penuh dogma dan menjunjung kekuasaan.. Kalau diinterpretasikan secara salah seolah olah Ilmu dan Agama itu bisa dicampur dan itu dikatakan dilakukan oleh Einstein , ini akan berdampak menjerumuskan, misleading. 

Menjual nama besar ilmuwan sekaliber Einstein ditempat yang salah.  Di lingkungan perguruan tinggipun pernah sangat popular, bahkan mungkin sampai saat ini masih ada yang getol menulis IPTEK/ IMTAQ  (singkatan Ilmu Pengetahuan Teknologi/ Iman Taqwa.). Menuliskannya harus selalu digabungkan! Saat  bersamaan juga getolgetolnya mensitir ungkapan pertama Einstein diatas.  Ini adalah kesalahan korelasi. Religion nya Einstein adalah FILSAFAT , no dogmas, no personal God and no church. Ilmu dan kebenaran ilmiah tidak ada hubungannya dengan iman dan taqwa. Kita bisa jadi jauh dari pengertian sebenarnya dari ilmu.
Itulah Albert Einstein yang mengaku religious dalam pengertiannya sendiri dan atheist dalam pengertian lain.

(http://kanghasbihabibi.blogspot.com/2011/05/ilmu-tanpa-agama-bagai-orang-lumpuh.html)

3 komentar:

SQ Blog mengatakan...

Sebelumnya terima kasih penjelasannya untuk Quote pertama!

Adapun, untuk Quote kedua, “God does not play dice.” Seperti disinggung bahwa quote pertama yang tdk ada hubungannya dgn agama, dan termasuk quote yg kedua ini. Namun menurut saya ungkapan Einstein yg kedua ini justru sangat Agamis. Bahkan quore pertama pun menurut sy sejalan dgn ajaran agama (walapun Enstein sendiri memahaminya dlm perspektif agama yang berbeda). Tp Quote kedua inilah yg menrik perhatian sy untuk dikomentari.

Memang diyakini bahwa Agama memuat ajaran transendental, dogma, dan bersifat normatif. Tetapi bukan berarti ajaran agama tidak mengenal proses, struktur, step by step, yg Enstein sebutkan dgn "God does not play dice". Kemudian dijelaskan bahwa maksudnya "fenomena alam ini tidak ada yang terjadi secara random, secara acak, terjadi begitu saja tanpa sistem , tanpa aturan." Menurut saya, justru inilah yang sungguh agamis. Agama yang sesuai dengan fitrah dan akal manusia yang telah dianugerahkan.

Adapun ungkapan dalam postingan, "phenomena dialam ini bisa terjadi begitu saja asal Tuhan mau, atau dengan kata lain bisa terjadi secara random". Maaf, menurut sy justru ini ungkapan yang tidak agamis. Untuk melihat titik terang permasalahan ini, melibatkan dua istilah penting, yaitu Sunnatullah dan Takdir. Selama ini, SUNNATULLAH sering disamakan dengan hukum alam sehingga dimaknai sebagai hubungan sebab akibat dalam alam, seperti matahari terbit di timur, dll. Begitu pun TAKDIR selama ini dimaknai sebagai hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti tsunami, banjir, gempa, sehingga kita terkadang menyatakan, "takdirnya terkena gempa, dll". TETAPI SESUNGGUHNYA, pehamaman ini kurang tepat. Pemahaman maknanya terbalik.

Pemahaman sebenarnya justru SUNNATULLAH IALAH BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN-KEJADIAN DI ALAM TERMASUK YANG TIDAK MENYENNAGKAN MANUSIA SEPERTI BANJIR, TSUNAMI, GEMPA, DLL. ADAPUN, TAKDIR IALAH BERHUBUNGAN DENGAN KETETAPAN ALLAH DI ALAM RAYA SEPERTI PERJALANAN MATAHARI, PERPUTARAN MALAM DANG SIANG, DLL.

Konsep Sunnatullah bahnyak dimuat dalam al-Quran dan selalu berhubungan dengan kisah-kisah umat terdahulu. Al-Quran menekankan bahwa berbagai kejadian yang mereka alami, seperti kaum Nabi Nuh, pelecehan harkat dan martabat manusia kemudian di azab dengan banjir besar;
kaum Ad (Hud), keangkuhan intelektual kemudian di azab dengan gempa bumi disertai angin yang sangat kencang; Kaum Tsamud (Shaleh), budaya hedonistic kemudian dihancurkan dengan kilat, petir dan gledek yang sangat dahsyat; Kaum Sodom (Luth), penyimpangan seksual kemudian disiksa dengan bumi terbalik; Kaum Madyan (Syu’aib), melakukan kejahatan ekonomi kemudian di azab dengan gempa bumi disertai kilat; Fir’aun dan kaumnya, arogansi kekuasaan kemudian ditenggelamkan di laut merah; dan termasuk berbagai kejadian di belahan bumi lainnya yang diberikan azab melalui keganasan alam selalu di awali dengan penyebab, yaitu kebejatan moral, akhlak, serta jauh dari agama.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa sebagian kejadian berjalan dalam sebuh proses dan struktur, tdk serta merta terjadi dan ini sama sekali tidak mengurangi sifat Kodrat Allah. Sehingga sudah tepat jika Quote Enstein di atas dimaknai bahwa tidak ada yang terjadi secara random, secara acak, terjadi begitu saja tanpa sistem, tanpa aturan. Ini sesuai dengan pesan-pesan al-Quran, termasuk Hadis yang menekankan bahwa yang baik akan berbuah baik, dan yang buruk akan berbuah buruk. Bukankan ini menunjukkan bahwa Allah telah memberikan pilihan dalam sebuah sistem yang aturan-aturannya termaktub dalam al-Quran dan Hadis.

SQ Blog mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
SQ Blog mengatakan...

Adapaun konsep kedua, yaitu TAKDIR. Terkait dengan ungkapan, "phenomena dialam ini bisa terjadi begitu saja asal Tuhan mau, atau dengan kata lain bisa terjadi secara random". Mungkin tdk sepenuhnya salah, tapi keliru saja. Artinya, ungkapan ini tdk terlalu masalah dalam kaitannya dengan sifat Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Berkehendak. Tidak ada satupun yang bisa menghalangi kehendak-NYA, segala sesuatu berada dalam keputusan dan kebijaksanaan-NYA. Dalam pengertian ini, ungkapan ini tdk terlalu masalah, tetapi tetap tdk agamis karena dikaitkan dengan "sistem kehidupan". Sebab ungkapan ini menafikan Doa dan Usaha (ikhtiar) yang merupakan sebuah sistem dalam hidup yang Allah telah tetapkan dalam al-Quran dan Hadis.

Terlepas dari uraian di atas, maksud dari penulis "phenomena dialam ini bisa terjadi begitu saja asal Tuhan mau, atau dengan kata lain bisa terjadi secara random" mngkin dalam konteks kemahakuasaan Allah atas segala sesuatu. Allah mampu berkendak apa saja tanpa terpengaruh dengan apapun, termasuk sistem. Dalam hal ini, no problem. Tetapi jika dikaitkan dengan ungkapan Estein di atas, apalagi jika diduskusikan sebagai hal yang bertentangan, maka maksud pesannya menjadi keliru, tidak tepat sasaran, bahkan justru tidak agamis seperti telah diuaraikan di atas.