Sabtu, 12 Mei 2012

Membentuk Keluarga Sakinah

Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.

Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.

Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.

Membangun Kenyamanan Keluarga

Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.

Tidak ada komentar: